JAKARTA- Penambahan kasus positif Covid-19 kembali mencetak rekor pada Selasa (9/6), yakni sebanyak 1.043 kasus dalam satu hari. Angka ini dinilai cukup mengejutkan lantaran new normal tengah ramai digemborkan.
Peneliti Institut Riset Indonesia (Insis) Dian Permata menegaskan bahwa aturan apapun yang dibuat pemerintah sangat butuh konsistensi dari pengambilan keputusan atau aturan tersebut.
Jika pembuat regulasi plin-plan, maka efek samping terbesarnya adalah masyarakat akan mengikuti pola yang sama dengan pemerintah.
“Bahkan bisa lebih parah. Plin-plan sekaligus mengakali aturan yang ada. Sebagai contoh kasus dijual bebasnya surat keterangan atau izin masuk saat mudik atau pulang kampung," ucap Dian Permata dilansir RMOL, Rabu (10/6).
Dian melanjutkan, pemberlakuan masa transisi atau new normal sudah mulai didengungkan saat Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan untuk berdamai dan berdampingan dengan Covid-19.
Sehingga, new normal merupakan fase lanjutan dari pernyataan tersebut, yakni hidup berdampingan atau berdamai dengan Covid-19.
"New normal terlihat jelas mengarahkan ke pandangan soal pro ekonomi. Agar ada perputaran ekonomi. Itu kata kuncinya," kata Dian.
Karenanya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengambil pilihan tersebut sebagai contohnya. Risma meminta agar PSBB di Surabaya tidak diperpanjang agar ekonomi berjalan serta akan mengetatkan protokol kesehatan.
"Hanya saja, agak membingungkan publik. Saat PSBB saja banyak pelanggaran. Bagaimana saat PSBB dicabut. Siapa yang bisa menjamin protokol kesehatan dijakankan setiap individu," terang Dian.
Seharusnya, masa transisi menuju new normal diberlakukan setelah angka positif Covid-19 mengalami penurunan.
"Jika angka penurunan itu konstan maka pilihan new normal bisa saja diambil sebagai sebuah kebijakan," pungkas Dian.[mr/rm]
Peneliti Institut Riset Indonesia (Insis) Dian Permata menegaskan bahwa aturan apapun yang dibuat pemerintah sangat butuh konsistensi dari pengambilan keputusan atau aturan tersebut.
Jika pembuat regulasi plin-plan, maka efek samping terbesarnya adalah masyarakat akan mengikuti pola yang sama dengan pemerintah.
“Bahkan bisa lebih parah. Plin-plan sekaligus mengakali aturan yang ada. Sebagai contoh kasus dijual bebasnya surat keterangan atau izin masuk saat mudik atau pulang kampung," ucap Dian Permata dilansir RMOL, Rabu (10/6).
Dian melanjutkan, pemberlakuan masa transisi atau new normal sudah mulai didengungkan saat Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan untuk berdamai dan berdampingan dengan Covid-19.
Sehingga, new normal merupakan fase lanjutan dari pernyataan tersebut, yakni hidup berdampingan atau berdamai dengan Covid-19.
"New normal terlihat jelas mengarahkan ke pandangan soal pro ekonomi. Agar ada perputaran ekonomi. Itu kata kuncinya," kata Dian.
Karenanya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengambil pilihan tersebut sebagai contohnya. Risma meminta agar PSBB di Surabaya tidak diperpanjang agar ekonomi berjalan serta akan mengetatkan protokol kesehatan.
"Hanya saja, agak membingungkan publik. Saat PSBB saja banyak pelanggaran. Bagaimana saat PSBB dicabut. Siapa yang bisa menjamin protokol kesehatan dijakankan setiap individu," terang Dian.
Seharusnya, masa transisi menuju new normal diberlakukan setelah angka positif Covid-19 mengalami penurunan.
"Jika angka penurunan itu konstan maka pilihan new normal bisa saja diambil sebagai sebuah kebijakan," pungkas Dian.[mr/rm]
COMMENTS