Yang lebih payah lagi, di tangan Oligarki, kini ekonomi politik didominasi kepentingan Oligarki, dan NKRI bukan lagi negara hukum.
"Indonesia bukan lagi negara hukum, tetapi negara kekuasaan. Hukum di Indonesia kini tunduk kepada penguasa dan memilih-milih mana yang harus ditindak dan mana yang tidak," kata Rizal Ramli penuh prihatin
"Ini tidak bisa dibiarkan karena semakin lama ketidakadilan semakin tinggi. Rakyat miskin semakin susah, tetapi mereka yang berkuasa semakin kaya dan semakin mengabaikan hak-hak rakyat soal keadilan dan kebutuhan dasar," ujar Rizal Ramli.
Sepertinya mulai meluas kesadaran banyak pihak terhadap dampak buruk Presidential Threshold yg justru mempersempit partisipasi dalam demokrasi karena calon pemimpin jadi amat terbatas & kekuatan uang menjadi dominan, serta Oligarki lah yang paling diuntungkan karena mengendalikan semua proses politik itu demi kepentingannya.
''Oligarki mencengkeram DPR, istana dan kabinet,'' kata ahli filsafat politik dan analis Rocky Gerung.
Jangan lupa. ungkap tokoh nasional Rizal Ramli (RR) , sebutan Cebong dan Kampret begitu populer pada Pemilu 2010 karena hanya ada dua pasang calon presiden-calon wakil presiden. Terbelahnya pemilih ke hanya dua kubu itu dinilai berdampak besar, bahkan hingga saat ini.
Polarisasi pemilih secara politik terpecah dalam dua kubu tsb, memprihatinkan karena konflik yang timbul lebih runcing, dibanding ketika ada banyak calon dalam pemilihan presiden. Presidential threshold atau syarat ambang batas
pencalonan presiden dianggap menjadi akar persoalan. Karena itulah, sejumlah
partai politik, tokoh dan pengamat menilai presidential threshold harus diturunkan.
Tujuannya, partai yang lolos dalam Pemilu, dapat membentuk lebih banyak koalisi dan memunculkan lebih banyak pasangan capres-cawapres.
PANDANGAN KETUA DPD LA NYALLA
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, mencatat setidaknya ada empat dampak yang harus diterima. Pertama, ujarnya, adalah minimnya pasangan calon.
“Hanya akan muncul dua pasang calon yang head to head, meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya,
dalam pemilu yang lalu, bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon,”
kata La Nyalla, dalam diskusi di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), Sabtu (5/6).
Dampak keterbelahan masyarakat dalam dua kubu, menurutnya, masih dirasakan
sampai saat ini dan dinilai sangat tidak produktif.
Kedua,ambang batas pencalonan melanggar Konstitusi 1945 dan mengerdilkan potensi bangsa. Menurut LaNyalla, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan calon pemimpin yang kompeten.
Namun, calon-calon kompeten itu tidak bisa muncul karena digembosi aturan main.
Pembatasan itu juga mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan calon terbaik.
Ketiga,ambang batas pencalonan juga berpotensi mengendurkan kesadaran dan partisipasi
politik rakyat.
“Peluang Golput tinggi, karena calon terbaik mereka tidak dapat tiket untuk
maju, sehingga kedaulatan rakyat melemah, digerus kedaulatan partai,” kata La
Nyalla.
Dampak keempat, menurut La Nyalla, adalah partai kecil cenderung tidak berdaya
di hadapan partai besar, terkait keputusan calon yang akan diusung bersama.
Padahal, menurut senator asal Jawa Timur ini, partai politik didirikan untuk
mengusung kadernya, agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.
Ambang batas pencalonan presiden juga melemahkan posisi presiden
sendiri. Terbukti dengan kondisi saat ini, partai pendukung dominan di DPR.
Mekanisme pengawasan menjadi lemah karena yang terjadi adalah bagi-bagi
kekuasaan, dan DPR menjadi menjadi pihak yang melegitimasi kebijakan
pemerintah. Oleh sebab itu, Presidential threshold harus dihapus, dihilangkan.
COMMENTS