KONFRONTASI- Rezim-rezim otoriter yang muncul dari demokrasi liberal disebabkan oleh buruknya tata kelola ekonomi sehingga menjontrongkan pemerintah menuju Negara Gagal atau setidaknya menuju negara lemah dan paria karena salah urus. Sesungguhnya, kata Peter Drucker, tidak ada Negara yang terbelakang, tapi yang ada justru negara salah urus, mismanaged atau undermanaged. Problem Indonesia era Jokowi adalah salah urus ekonomi dengan utang yang bertumpuk.
Berdasarkan data
International Debt Statistics (IDS) 2021, utang luar negeri Indonesia pada 2019
mencapai US$402 miliar atau sekitar Rp5.900 triliun (dengan nilai kurs Rp14.700
per dolar AS). Jumlah utang luar negeri RI melonjak jika dibandingkan tahun sebelumnya
(yoy), yaitu US$379,5 miliar dolar atau sekitar Rp5.578 triliun. Realisasi
tersebut membuat Indonesia menjadi negara dengan jumlah utang terbesar di Asia
Tenggara. Sebagai perbandingan, total utang luar negeri Vietnam pada 2019
mencapai US$118,4 miliar, Thailand US$180,2 miliar, dan Filipina US$83,6 miliar. Tahun lalu saja (2020), BPK melaporkan,
realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2020 sebesar Rp 1.647,78 triliun
atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja
negara sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran.
Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020
dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB. Utang
pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun pada tahun 2020. Jumlah utang ini
naik tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2019, yaitu Rp 4.778 triliun
Nilai utang pemerintah yang menjadi beban APBN,
bukan hanya Rp 6.527 triliun. Tetapi, juga ada utang BUMN keuangan sebesar Rp
2.143 triliun dan non keuangan Rp 1.089,96 triliun. Sehingga utang pemerintah
pada masa Jokowi sekarang sebesar Rp 8.670 triliun.
Akibatnya, warisan
utang Presiden Jokowi ke presiden berikutnya, diprediksi lebih dari Rp 10 ribu
triliun, sangat berat.
Dan jika dalam
jangka pendek kasus utang itu tidak bisa ditekan dan bank sentral Amerika
Serikat menaikkan suku bunga, maka posisi ekonomi akan sangat sulit. Bagaimanapun,
suku bunga utang akan terdorong naik, meski bersaing sama obligas AS. Sementara itu, rasio pajak Indonesia rendah karena para
taipan dan orang kaya RI enggan bayar pajak, maunya dapat tax amnesty..
Sehingga kalau Jokowi tidak bisa bayar
utang dalam jangka pendek kepercayaan
terhadap ekonomi Indonesia merosot.
Atau jika pemerintah masih dipercaya mungkin masih
bisa melakukan pengajuan profiling utang yakni meminta penangguhan utang, dengan
risiko bunganya numpuk terus.
MENJADI OTORITER
Sejauh ini, utang
Indonesia yang menumpuk disebabkan karena mesin politik ekonomi di Indonesia
saat ini telah cacat, rusak
Karena mesin politik ekonomi cacat, rusak dan
demokrasi sudah mengalami kemunduran, maka era Jokowi menjadi otorioter. Sehingga
kebijakan anggaran menjadi otoriter pula.
Dan sikap otoriter pemerintah itu, menurut Rektor
Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini, akan mendatangkan para "pelobi" yang
dekat dengan kekuasaanm yang dapat dengan leluasa meningkatkan defisit dengan
sengaja, kemudian melahirkan keputusan yang relative mudah, sembrono dan salah
kaprah, tanpa pertimbangan teknokratis dan rasional.
Indonesia menghadapi masalah berat dalam utang
pemerintah yang meningkat pesat dua tahun terakhir ini. Bahkan krisis ekonomi
yang lebih luas sangat bisa masuk lewat krisi APBN, yang sudah sulit untuk
membayar utang di tahun-tahun mendatang Dan gejala krisis ekonomi sudah mulai
berawal dari krisis anggaran dan utang, yang bisa menyebar ke sektor ekonomi
lainnya.
Investor mulai tidak percaya, luar negeri
berhenti masuk ke dalam negeri, dan akhirnya masuk ke tahap paling dalam 'vote
of no convidence'. Jika sudah sampai tahap ini, maka krisis tiga dimensi bisa
terjadi, krisis pandemi, krisis ekonomi dan krisis sosial politik.
Otoriterisme Jokowi menguat karena dalam setiap
kebijakan pemerintah, parlemen seakan melempem dan cenderung menuruti kemauan
pemerintah semata, untuk melancarkan program yang banyak membebani rakyat.
Parlemen sekarang sudah lebih rendah
kapasitasnya dengan parlemen masa Orde Baru, yang dalam kondisi otoriter tetap
memiliki kapasitas teknokratis. ‘’Tetapi parlemen sekarang tidak
memilikinya," tegas ekonom INDEF Didik J Rachbini
Karena demokrasi sudah terganti otoriter, maka
anggota-anggota DPR-RI cuma pasif nurut,
mau defisit dilebarkan dengan alasan pandemi, monggo. Hak budgetnya dipotong
sehingga tidak punya wewenang menentukan APBN. Tidak ada lagi cheks and
balances.
Selasa kemarin (22/6/20), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.
Melihat data tersebut, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna mengaku khawatir pemerintah tidak mampu untuk membayarnya. Dan kekhawatiran itu sudah di depan mata kita.(catatan red/berbagai sumber/hs)
COMMENTS