KONFRONTASI- Indonesia diubah dari sistem otoriter ke demokrasi pada momentum reformasi 1998 dimana Orde Baru Pak Harto ditumbangkan. Perjuangan dan pengorbanan dilakukan mahasiswa, anak muda seluruh Indonesia, hingga akhirnya 32 tahun rezim Orba selesai. Setelah itu digantikan oleh rezim Habibie dan Gus Dur.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli (RR) menilai, pada masa ini merupakan masa emas demokrasi. Meskipun hanya sebentar. Namun kini,kata RR, Demokrasi kriminal semakin merajalela. Sistem pemilihan berubah menjadi sangat ‘money oriented‘, bahkan kriminal.
“Dua-duanya orang yang sangat hebat, dua-duanya tokoh yang lama di luar negeri, tahanan politik dibebaskan,” kata Rizal di Jakarta, ditulis Kamis (11/11/2021).
Rizal Ramli | Foto: Istimewa
Pada masa emas demokrasi Indonesia ini, anggota DPR diberikan kebebasan untuk mengkritik dengan aman Presiden Habibi dan Presiden Gus Dur.
“Meski kritiknya keras-keras sekali, tapi kita tidak pernah masalah, tidak pernah menghalangi. Jadi ada masa emas pendek demokrasi Indonesia,” papar Menko Perekonomian Presiden Gus Dur ini.
Waktu itu, lanjut dia, ketua umum tidak diberikan kewenangan untuk memecat anggota DPR. Tapi setelah Gus Dur jatuh, dikembalikanlah sistem di mana ketua umum partai berhak memecat anggota DPR, sehingga mereka takut.
“Jadi, walaupun jumlah anggota DPR 575 orang, dalam prakteknya cukup dikontrol 9 ketua umum saja. Dan ketua umum kebanyakan kalangan bisnis yang punya banyak konflik kepentingan, sehingga gampang dikendalikanlah seperti soal proyek atau kasus pajak dan sebagainya,” papar eks Tim Panel Ekonomi PBB ini.
Makin lama, imbuh dia warna otoriter nya mulai kelihatan. Demokrasi kriminal pun semakin merajalela. Sistem pemilihan berubah menjadi sangat ‘money oriented‘, bahkan kriminal.
“Misalnya mau jadi bupati itu kan mesti dapat dukungan partai 20 persen, dalam konteks ongkos politik, satu partainya Rp20 miliar, kalau tiga partai Rp60 miliar, itu hanya sewa partai saja. Mau jadi gubernur sewanya itu Rp100-300 miliar, dan presiden bisa sampai Rp1,5 triliun, itu mahar saja,” jelasnya.
Partai-partai ini menggunakan kesempatan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Persoalannya, para calon kepala daerah ini banyak yang tidak punya uang, karena bukan orang bisnis. Sehingga yang membayar biaya partai, promosi dan lainnya para bandar.
“Begitu sudah menjadi bupati, bandarnya datang, dan bilang, ‘kamu jadi bupati kan gara-gara saya, proyek di kapubaten buat saya, bagian keuangan diganti sama orang saya’. Ini yang merusak Indonesia, makin lama makin kriminal,” tandas Rizal.
(konfr/kedaipena)
COMMENTS