KONFRONTASI- Menurut para sesepuh Jawa, Bencana alam dan malapetaka silih berganti merupakan isyarat pada istana Jokowi bahwa alam semesta nusantara dan seisinya sebenarnya sudah menolak/emoh pada kepemimpinan Jokowi-Maruf karena tidak amanah dan gagal mewujudkan maslahat rakyat. Kezaliman, ketidakadilan dan keserakahan Oligarki era Jokowi meluas membuat rakyat sengsara. Kepemimpinan Jokowi makin redup, suram dan layu. Harusnya Jokowi mundur untuk madeg pandito dan kepemimpinan baru diharapkan muncul untuk menggantikan rezim revolusi mental yang gagal, tidak adil dan penuh korupsi ini. Masalahnya, maukah Jokowi mundur?
Masyarakat Jawa melihat Letusan
Gunung Semeru, banjir Sintang Kalimantan dan Batu Malang, gempa NTT/NTB,
longsor dan sejenisnya terus melanda
Indonesia sebagai sinyal ayat-ayat alam semesta (Qauniyah) bahwa alam semesta
Nusantara dan seisinya sudah tidak menghendaki lagi kepemimpinan Jokowi yang
tidak amanah, tidak adil dan tidak jujur. Himbauan, desakan atau bujukan agar Jokowi mundur itu lebih baik karena masyarakat menilai jokowi tidak kompeten dan kosong mlompong pikirannnya.
Demikian pandangan peneliti F. Reinhard MA yang
mengkaji kosmologi orang Jawa dan budaya Jawa yang disampaikannya pada Forum
Kebangsaan, kemarin. ''Mundur itu bagi Jokowi justru langkah bijaksana dan terhormat, kata banyak orang Jawa, bukan malah nambah periode kuasa jadi tiga periode. Kita hormat/eman pada Jokowi maka menyampaikan pesan tanda tanda alam dalam kosmologi Jawa ini,'' demikian Reinhard,
Dalam forum terbatas itu, Fathor Reinhard menilai, masyarakat Jawa tetap kritis pada pemerintah meski tidak hiruk pikuk, namun diartikulasikan dengan tenang dan prihatin atas petaka, bencana alam dan pandemi yang terus terjadi. ‘’Adakah istana Jokowi menyadari tanda tanda alam sebagai tanda tanda zaman ini?’’ ujar Reinhard.
Dari sisi urusan duniawi dan demokrasi, di era Jokowi perkembangan demokrasi di Indonesia mendapat predikat buruk yang tercermin dari berbagai peringkat indeks demokrasi global. The Economist misalnya mencatat terjadi kualitas demokrasi terburuk dalam 14 tahun terakhir. Indeks demokrasi domestik juga menyuarakan hal sama yakni kebebasan sipil dan berekspresi yang rendah, tekanan terhadap aspirasi masyarakat, intimidasi ketika berbeda pendapat yang lalu dilaporkan ke aparat berwajib. Hal itu diungkapkan oleh DirekturLP3ES Fajar Nursahid, dalam diskusi Twitter Space Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini bertajuk Catatan Akhir Tahun 2021 Bidang Politik, Media dan Demokrasi, pada Minggu (12/12).
Direktur Pusat Media dan
Demokrasi, LP3ES Wijayanto mengatakan secara umum, kondisi demokrasi di tahun
2021 masih sama dibandingkan sebelumnya bahkan makin parah menuju kemunduran
demokrasi dan putar balik ke arah otoriterisme.
Kedua, absen atau
diberangusnya lawan politik (oposisi). Hal ini tampak misalnya dengan KLB
partai demokrat yang merupakan rekayasa politik dari kekuatan dalam lingkaran
istana yang kemudian dianulir sendiri oleh Menteri hukum dan HAM setelah ada
protes kuat dari masyarakat sipil.
Ketiga, toleransi atau
anjuran untuk penggunaan kekerasan. YLBHI mencatat terjadi banyak peristiwa
kekerasan dalam pembebasan lahan dalam berbagai proyek pembangunan
infrastruktur.
Keempat, diberangusnya
kebebasan sipil termasuk media. Hal ini tampak jelas pada kebangkitan
otoriterisme digital yang semakin nyata hari-hari ini. Otoriterisme digital
didefisinikan sebagai penggunaan teknologi digital untuk mengawasi, merepresi
dan memanipulasi warga negara (Scott, 2021).
Menurut Wijayanto,
kebangkitan otoriterisme digital ditandai oleh berbagai trend antara lain,
pertama adalah kriminalisasi warga negara, jurnalis dan aktivis dengan
menggunakan pasal karet dalam berbagai produk perundangan. Trendnya meningkat
dari 36 kasus pada 2014, menjadi 30 kasus pada 2015, lalu 83 kasus pada 2016,
ada 56 kasus 2017, 25 dan 24 kasus pada 2018 dan 2019, lalu naik pesat pada
2020 menjadi 84 kasus.
COMMENTS