Kita memperingati 100 tahun Nahdlatul Ulama (NU), NU saya tahu, adalah
mobil plat hitam, artinya organisasi masyarakat (civil society). Jadi kalau NU
mau besar, jangan seret NU jadi mobil plat merah, jangan jadikan NU mobil plat
merah.
Bahwa NU itu rasional: Kalau
pemerintah tindakannya bagus, wajib dukung dan wajib puji. Tapi kalau ndak
benar, wajib juga katakan, itu ndak benar. Menurut hemat saya itulah yang
membuat NU besar, selalu jadi mobilnya
rakyat. Tapi saya tadi berdiri di belakang, mendengarkan Mars PKB saya pikir kalau Mars ini benar-benar
dilaksanakan, beres nih urusan Indonesia. Semangatnya, rohnya, jiwanya, itu
canggih isi marsnya, beres masalah
Indonesia.
Nah, sebelum saya masuk ke masalah ekonomi hari ini dan apa yang
terjadi di masa depan dan NU, saya mau cerita sedikit: waktu mahasiswa di ITB
saya pernah dua minggu ikut pesantren kilat di Pesantren Pondok Gontor, Jatim.
Nah yang kedua, pada tahun 2002
waktu Gus Dur presiden saya pernah
bicara begini: Gus saya bekerja 24 jam siang malam sabtu minggu, saya pengen
dikasih hadiah. Gus Dur bilang, kamu mau hadiah apa Rizal? Saya mau diasih
gelar Gus , saya bilang gitu ke Gus Dur. Lalu Gus Dur bilang, kamu orang pintar, S1 buat kamu gampang, S2
gampang, S3 gampang. Tapi dapat gelar Gus itu susah banget. Memang Gus Dur ada ‘pelitnya’
juga haha.
Jadi sampai beliau meninggal saya tak pernah mendapat gelar Gus dari
Gus Dur. Tapi dua tahun setelah Gus Dur tidak ada, ikatan Alumni Tebuireng
mengadakan Kongres di Puncak, dimana 200-an orang alumninya memberi saya gelar Gus, tapi ada syaratnya, ndak gratis.
Syaratnya RR itu harus ganti nama, Rizal
Ramli jadi Gus Romli, ndak boleh pake Gus
Ramli. Karena itu doa kawan-kawan, sekaligus juga harapan. Sesuai dengan
ramalan Joyo Boyo. Ejaan yang terakhir itu ucapanya Ro, Notonogoro. Maka saya
dipanggil Gus Romli
***
Nah ekonomi Indonesia hari ini, jauh sebelum Covid-19 memang tidak
anjlok, karena pengelolaan materi sebelumnya sangat konservatif. Dengan adanya
covid, anjloknya ekonomi lebih dalam lagi.
Memang dalam beberapa bujlan terakhir, beberapa sektor melonjak tinggi
sekali, harga batu bara naik dai 60 dolar ke harga 200-an dolar.harga sawit
naik 60% , harga macam macam itu naik tinggi sekali, cuman harga sawit naik,
harga minyak goreng juga naik. Nah kami ingat waktu pemerintahan Gus Dur, harga
sawit naik dua kalinya.harga minyak goreng juga naik tinggi sekali lebih dari
100% . Saya panggil, waktu itu masih anak buah saya, namanya Jenderal Luhut
Panjaitan.Menteri Perindustrian Perdagangan, saya bilang, Bang Luhut, ini
daftar harga sawit swasta, ini sawit BUMN. ‘’Panggil mereka semua kumpulkan ,
kasih tahu satu hal: kalian jangan greedy (rakus,tamak), jangan rakusnya
kebangetan, karena harga sawit di luar sudah untung, kalian mau genjot juga di
dalam negeri, pasokan di dalam negeri kalian kurangi, maka harga melangit. Saya
katakan, Satu: Para pengusaha sawit itu harus mementingkan hajat hidup orang
banyak. Yang kedua, jangan lupa kacang
sama kulitnya. Industri sawit Indonesia dibangun tahun 70-an , 80-an pakai
kredit Likuiditas Bank Indonesia bunganya
cuma 2%. Kalian mesti ingat itu. Yang ketiga, kalau dalam waktu satu
bulan harga minyak goreng di dalam negeri nggak turun, seperti di awal, saya
akan periksa pajak dan kalau saya ketemu saya ndak ada ampun lafi. Jenderal
Luhut Panjaitan bilang, Siap Bang, aku ini paling suka nge-gencet orang. Dikumpullah
penguasa sawit, dan dia cerita :”Ada
pesan nih, tiga dari Pak Menko RR, kalau nanti bapak-bapak diperiksa pajaknya
ketemu, bapak lobi saya, saya lobi pak Menko , ndak bakal ada ampun pada akhirnya.
Apa yang terjadi? Dalam sebulan harga minyak goreng turun.
Itulah contoh daripada Konstitusi 1945 kita, kalau menyangkut hak
hajat hidup orang banyak, pemerintah keberpihakannya mesti jelas. Tapi kalau
harga mobil naik, harga barang elektronik naik ga usah. Tapi hal-hal yang
penting menyangkut hajat hidup orang banyak pemerintah garisnya sudah jelas.
Nah, ada hal yang berbeda juga, pada awal-awal tahun Orde Baru, 85% dari penbdapatan
APBN, itu dari minyak bumi dan gas. Bahkan sampai pernah 85% APBN kita itu dari
minyak bumi dan gas. Hanya 15% dari pajak di dalam negeri. Dengan itulah Pak
Harto punya uang untuk membiayai pembangunan , biaya SD Inpres, biaya
macam-macam, Puskesmas, Pemerintah Pak Harto punya uang untuk membangun itu semua.
Hari ini apa yang terjadi? Komoditi naik semua, minyak bumi, gas,
batubara, dan lain-lain, tapi pemiliknya swasta bukan negara. Sehingga
kontribusinya ke dalam APBN kecil sekali. Padahal misalnya batu bara aja, kalau
misalnya tidak dihapus royalti terhadap pajak batu bara baru dihapusin 6 bulan
yang lalu maka negara akan terima 100 Triliun rupiah dan itu bisa mensubsidi
supaya rakyat bisa lega. Pendapatan Negara
bertambah karena harga naik lagi ke depan. Tapi ini tidak. Nah, kenapa? Karena
Undang-undang Dasar 45 dibelokkan. Di Undang-undang Dasar 45 kan sangat jelas ,
sumber daya alam, punya rakyat, dikelola oleh negara. Swasta boleh jadi
kontraktor saja, itulah yang terjadi di sektor minyak bumi dan gas. Rakyat yang
memiliki dikelola oleh negara, pelakunya swasta asing sama swasta dalam
negeri.tapi mayoritas dari keuntungan kenaikan harga dinikmati oleh rakyat karena masuk APBN
sesuai Konstitusi. Sementara yang sekarang enggak sama sekali. Dimiliki oleh
swasta, udah dibelokkan dan tak menguntungkan Negara dan rakyat.
Nah harusnya mereka ini rata-rata sudah memiliki konsesi ini 30 tahun
dan harus dikembalikan kepada negara. Tapi biasalah raja-raja di bidang
pertambangan ini lobi, sogok sini sogok sana diloloskanlah UU Mineral sehingga
pemilik konsesi otomatis dapat perpanjangan dua kali sepuluh tahun. Nilai
konsesinya itu sendiri ratusan milyar. Harusnya negara berhak mengambil
sebagian atau sebagian besar , mereka hanya menjadi kontraktor.
Jadi kalau kita kembalikan ke Undang-Undang Dasar 45, banyak dari
masalah ekonomi kita ini dapat diselesaikan kalau konsesi-konsesi pelakunya dan
pelaksananya hanya jadi kontraktor. Bukan jadi pemilik. Menurut saya ini satu
hal penting yang PKB bisa ikut perjuangkan.
Nah yang kedua kebanyakan pengusaha seperti yang saya katakan tadi ,
umat Islam kebanyakan itu pengusaha kecil menengah. Ada nggak yang bisa
dilakukan supaya mereka punya kesempatan lebih maju , lebih hebat. Ada banget.
Yang satu dari dulu penguasaha kecil selalu kesulitan modal, sampai hari ini
kredit untuk pengusaha kecil menengah hanya 18 % dari total kredit. Sisanya
yang gede-gede ini yang dapat.Seandainya
diubah nih, dalam dua tahun mendatang, naik menjadi 30 atau 40% dampaknya itu
dahsyat sekali. Karena pengusaha kecil inilah yang banyak menciptakan lapangan
pekerjaan, pengusaha kecil inilah yang punya insiatif banyak sekali, sekarang
hanya 18 % kredit, kalau di”double”
dalam waktu dua tahun dampaknya akan dahsyat. Dan yang kedua kredit
macetnya itu rendah. Saya ini dulu, ketua tim reformasi BRI Indonesia, zaman
pak Harto bersama tim dari Harvard University, kita ciptakan kredit KUPEDES
(Kredit Umum Pedesaan). Kita ciptakan tim SIMPEDES (Simpanan Pedesaan).
Hasilnya apa? Macetnya itu KUPEDES ndak pernah lebih dari 0,3%, dari dulu.
Padahal kredit yang besar-besar terutama pada waktu krisis, macetnya sampai
80%.
BRI itu besar karena satu, resiko kreditnya rendah sekali. Yang kedua
kami ingat waktu itu, waktu mulai SIMPEDES, kita banyak mulai tidak percaya
memang ada uang di desa. Ternyata ada, tetapi hanya pada waktu panen, mereka
masukkan ke SIMPEDES dan ndak pernah diambil kecuali Mantu dan naik Haji.
Hasilnya apa? BRI stabil pendanaannya “cost of many”nya rendah sekali. Itu yang
menyebabkan BRI bisa melonjak.
BRI itu dahsyat lho. BRI itu 12 tahun yang lalu, BRI itu modalnya
hanya 1/3 dari Mandiri (Bank Mandiri). Dalam waktu 12 tahun asetnya lebih besar
dari Mandiri, yang kedua kredit macetnya kecil sekali . jadi justru
mengandalkan yang kecil-kecil itu, bisa hebat dan besar. Memang Bankir Mandiri
kurang gaya , eh Bankir BRI kurang gaya, bahasa Inggris tidak bisa dibandingkan
Bankir Bank Mandiri. Tapi itu contoh, begitu saudara menggarap yang
kecil-kecil, saudara bisa jadi superbesar. Itulah yang menjelaskan di balik revolusi digital hari ini. Apa sih
digital, pada dasarnya ngumpulin segmen yang kecil-kecil. Pakai teknologi
akhirnya terjadi “Economy Scale “. Jadi di belakang revolusi ekonomi digital
itu, andalannya yang kecil-kecil, seperti gas segala macam, jadi kalau kita
lakukan landasdan kredit kita naikkan, dua kali dari dari peminjaman usaha
kredit untuk usaha kecil dan menengah, udah pasti akan lebih hebat dan lebih
maju.
Nah yang kedua, saya kira teman-teman semangatnya luarbiasa. Ingin
jadi pengusaha, iungin jadi saudagar, keinginan itu suatu keinginan yang bagus,
dan negara harusnya bantu. Kalau di negara lain terutama Jepang, ada memang
lembaga yang benar-benar bekerja untuk membantu usaha kecil menengah. Di kita
ada lembaganya kerjanya kagak jelas, begitu.
Mah yang ketiga, adalah memang regulasi. Regulasi Indonesia itu ribet
sekali, seperti teman saya dulu, Marzuki Darusman, kalau memang sulit kenapa
dijadikan mudah. Itu mental birokrasi kita, nah coba diselesaikan dengan
Undang-undang Omnibulaw ini. Tapi Undang-undang yang katanya untuk
menyederhanakan, halamannya saja 1000 halaman. Penjelasannya 500 halaman. Bagaimana
mau menyederhanakan, kalau Undang-undangnya saja lebih dari 1000 halaman. Jadi
dari segi pendekatan sistem, malah harusnya cukup cuma 20 halaman. Dipotong
segala macam regulasi dan itu sebetulnya mudah. Dan , ada pertanyaan, mungkin
gak, kalau lihat Undang-undang bikinan
kita, pada dasarnya kita, pendiri negara kita itu ingin membikin negara yang
sejahtera, kalau begini. Mungkin nggak rakyatnya sejahtera , negara
kesejahteraan tanpa pajak yang super tinggi. Banyak negara di Skandinavia
terutama, betul-betul negara kesejahteraan. Tingkat pendidikan bagus, kesehatan
bagus, segala macam diurus sama negara rakyatnya. Tapi ongkosnya tarif pajak
yang tinggi.
Indonesia mungkin nggak, kalau tarif pajak terlalu tinggi tentu
pengusaha juga protes. Mungkin nggak? Sangat mungkin.karena kita dibekali oleh
Allah yang Maha Kuasa, sumber daya alam yang besar. Kalau kita kelola itu, kita
bisa membangun negara kesejahteraan tanpa perlu pajak yang tinggi.
Saudara-saudara, apakah kita bisa keluar dari krisis ini, bisa banget.
Kami waktu zaman Gus Dur, hanya butuh waktu dua tahun kurang dari kita masuk
minus 3, dua tahun naik (Permintaan) sehingga tumbuh menjadi + 4 ½ %, eksport kita naikin dua
kali, yang miskin kita kurangi setiap tahun, hampir 5 juta orang. Mohon maaf
pemerintah Jokowi hanya kurang dari 1 juta /
tahun.
Apa sih strateginya? Strateginya itu berpihak kepada rakyat, saya
ingat waktu itu, waktu pemerintah Gus Dur masuk, kredit macet KUT, kreditnya
mas Adi Sasono, sama \Pak Habibie, macet bunga berbunga 26 Triliun rupiah, yang
kedua, petaninya diuber-uber supaya bayar, kalau nggak diganggulah sama camat
sama polisi. Saya lapor Gus Dur, Gus, kita udah gila Gus, kalau kita uber semua
nih, tanah petani jadi milik negara habis itu kita mau ngapain Gus?
Oh ya benar juga , Gus bilang, terus gimana, ya udah kita hapus aja Rp26 Triliun itu, bunga berbunga. Loh itu duit besar, Rizal. Saya bilang tenang aja Gus, kalau perlu duit kan banyak akalnya. Tapi yang kedua, kata Gus Dur, adalah kamu bisa dipenjara loh, ngabisin Rp 26 Triliun. Silahkan aja tangkap Rizal Ramli. Saya tidak menarik keuntungan sepeser pun, dari kebijakan tersebut. Akhirnya kita hapuskan, dan kaum petani bahagia, ndak diuber dan kebanyakan mereka itu NU semua, semua itu, dan bahagia ndak diuber sama camat sama polisi. Tapi habis itu kami naikkan rasio harga pembelian gabah dengan harga pupuk. Selama zaman pak Harto, pak Harto dikasih nasehat sama Profesor Peter Timmer, teman saya yang dosen di Stanford University, yaitu harus diatur rasio harga gabah dengan pupuk 3 banding 2. Selalu kalau pupuknya naik, harga pembelian gabah naik, supaya petani untung setengahnya, sehingga dia ada untuk insentif untuk berproduksi. Sebenarnya rumus pertanian Pak Harto yang paling utama ya itu. Kalau petani waktu itu kami naikkan rasio itu waktu jadi 1,7. Jadi petani dapat nilai tambah 0,7 . Makanya dia bersemangat untuk berproduksi, dua tahun setelah itu tidak ada import yang masuk ke dalam negeri. Jadi nggak ribet-ribet amat gitu. .
Rumusnya sederhana, petani harus untung, baru dia akan meningkatkan produksi. Jadi walaupun bibit bagus, irigasi bagus, pupuk bagus, tapi kalau setiap tanam petani rugi,
Mohon maaf itu terjadi karena pupuk dikurangi, dipotong dan kebanyakan petani beli pupuk yang tidak disubsidi sehingga merugi. Dari sini kita harus ubah, terurama petani kita, rakyat kita, terutama di desa-desa, agar mereka itu bisa lebih makmur dan itu bisa banget kok. Bisa banget, kita bisa lebih hebat dari saat era Pak Jokowi ini, syaratnya sederhana, yakni laksanakan itu Marsnya PKB, cukup itu doang. Wassalammualaikum Wr Wb. TERIMAKASIH.
Dr Rizal Ramli, Ketua Dewan Pakar KKNU 1926 PBNU, Menko Ekuin Presiden Gus Dur
COMMENTS