KONFRONTASI- Ketidakadilan dan kemiskinan masih menghantui rakyat kita yang makin kelabu diterjang korupsi masif dan pandemi corona. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan bahwa pada Agustus 2019, persentase pekerja informal sebanyak 55,8%. Kemudian angkanya meningkat menjadi 60,47% pada Agustus 2020. Dalam hal ini, tokoh nasional/ekonom senior Rizal Ramli (RR), mengingatkan, pembangunan di berbagai bidang, termasuk pertanian, real estate, pertambangan, dan perkebunan harus berorientasi untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat, bukan malah sebaliknya..
“Pembangunan itu justru alat untuk membuat rakyat lebih makmur, bukan sebaliknya, menjadi proses untuk memiskinkan rakyat secara struktural,” kata Rizal Ramli dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Pembangunan untuk Apa dan Siapa?” pada Rabu (29/9). RR melihat rakyat banyak makin susah. Rizal Ramli juga mengungkapkan penyebab merosotnya daya beli rakyat. "Makin lama makin merosot karena likuiditas yang ada di masyarakat disedot oleh surat utang negara," ujar Rizal. Likuiditas masyarakat kata Rizal digunakan untuk menopang utang negara yang ugal-ugalan. Hal itu kata Rizal membuat masyarakat Indonesia makin miskin.
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah
pengangguran di Agustus 2021 mencapai 9,1 juta orang. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat
jumlah orang miskin absolut di Indonesia pada Maret 2021 sudah mencapai 27,54 juta
orang.
Jumlah itu membuat tingkat kemiskinan mencapai
10,14 persen dari total populasi nasional. Jika dibandingkan pada Maret 2020,
jumlah penduduk miskin meningkat 0,36 persen atau naik 1,12 juta orang.
Kaum pekerja juga makin pengap, meski Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatakan tak layak buruh menuntut kenaikan upah karena upah minimum di Indonesia sudah terlalu tinggi. Benarkah terlalu tinggi? Menurut Global Wage Report 2020-2021: upah minimum RI ada di papan bawah Negara negara Asean, hanya lebih baik dari Myanmar.
Pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap meningkatnya angka ketimpangan. Hal ini disebabkan adanya penghentian kegiatan atau shutdown dan akses pemberian bantuan sosial yang tidak merata.
Bank Dunia atau World Bank dalam laporannya bertajuk 'Pemulihan Belum Merata' memproyeksikan, di kawasan Asia Timur dan Pasifik ada 32 juta orang yang tidak dapat keluar dari kemiskinan.
"Kemiskinan di kawasan Asia Timur dan Pasifik berhenti mengalami penurunan untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, dan 32 juta orang tidak dapat keluar dari kemiskinan," tulis laporan tersebut dikutip CNBC Indonesia, Jumat
Bank Dunia mengakui, memang sulit untuk menentukan berapa besar ketimpangan yang terjadi, karena survei yang diadakan seringkali tidak menjabarkan secara lengkap berapa penghasilan dan pengeluaran yang dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok teratas dan terbawah.
Kendati demikian, Bank Dunia mengklaim ada tiga bukti yang secara tidak langsung menunjukkan terjadinya ketimpangan di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Pertama, kemampuan masyarakat dalam menghadapi kerawanan pangan dan kehilangan kesempatan belajar.
"Ketika dihadapkan dengan masalah kehilangan penghasilan, rumah tangga yang lebih miskin kemungkinan besar akan mengurangi konsumsi pangan mereka, berhenti bersekolah, menambah utang, dan menjual aset. Semuanya melemahkan kemampuan mereka untuk pulih dari krisis," jelas Bank Dunia.
Kedua, perempuan lebih menderita daripada laki-laki, sebanyak 25% responden di Laos dan 83% di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan akibat adanya Covid-19. Kerawanan pangan membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan, apalagi pemberdayaan mereka secara ekonomi.
Ketiga, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengalami penurunan penjualan yang secara proporsional lebih besar daripada perusahaan-perusahaan besar.
"Hasil penjualan yang dicapai usaha mikro
menyusut sepertiga, sedangkan hasil penjualan perusahaan-perusahaan besar hanya
menyusut seperempat. Perusahaan-perusahaan yang lebih kecil juga lebih sedikit
dalam memanfaatkan peluang dari digitalisasi," tulis Bank Dunia.
COMMENTS